Translate

IslamKajianmetodologitaqlid

TAQLID DI ERA YANG SULIT

09 December 2024, 6:41 AM WIB
Advertisement

TAQLID DI ERA YANG SULIT
author : ustadz Ishomuddin Adib. Spd (tenaga pendidik di pon-pes Hidayatut Thullab)


Sejak masa kuliah, saya telah akrab dengan doktrin yang menyatakan bahwa fiqih salaf mulai kehilangan relevansinya di era modern yang serba cepat ini. Akibatnya, banyak cendekiawan yang menganjurkan adanya pembaruan (tajdid) dengan pendekatan metodologis yang konon ditawarkan oleh Imam Asy-Syatibi.

Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam konteks transaksi modern, sering kali sulit untuk menemukan padanan hukum dalam fiqih klasik. Hal ini memunculkan tantangan baru dalam menentukan keabsahan suatu akad. Sebagai contoh, bagaimana kita menyikapi transaksi yang melibatkan program, sistem, atau robot? Padahal, rukun akad mensyaratkan adanya pelaku yang memenuhi kriteria mukallaf dan memiliki kemampuan legal untuk bertindak. Karena kriteria ini tidak ditemukan pada sistem atau robot, keabsahan akad menjadi dipertanyakan.

Sebagai solusi, pendekatan ganti rugi (dhoman al-mutlafat) mungkin menjadi istilah yang paling mendekati, karena tidak memerlukan banyak syarat yang mengikat. Namun, dalam praktiknya, sering kali muncul situasi seperti pengembalian barang atau konsep khiyar (hak memilih dalam jual beli). Dalam fiqih, khiyar hanya berlaku jika akad yang mendahuluinya sah. Jika akadnya sendiri tidak memenuhi syarat, maka solusi ini pun menjadi kurang memadai dan meninggalkan banyak pekerjaan rumah yang belum terselesaikan.

Dari sini, pandangan para cendekiawan yang mendorong tajdid tampaknya masuk akal. Namun, bagi saya, tetap ada polemik lain. Salah satu kekhawatiran utama adalah bahwa pelegalan terhadap hal-hal yang sebelumnya sudah menjadi konsensus umum, dan telah teruji selama berabad-abad, dapat membawa kesan kebebasan tanpa batas. Jika ini terjadi, esensi norma agama, yaitu taklif (ujian yang Allah tetapkan untuk hamba-Nya), bisa hilang. Pada akhirnya, hal ini justru akan membuat manusia lebih cenderung mengikuti hawa nafsu, bukan meninggalkannya.

Meski demikian, kita juga diingatkan dengan ayat Al-Qur'an:  
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُم الْعُسْرَ
(QS. Al-Baqarah: 185)  

Ayat ini sering ditafsirkan dengan beragam pendekatan. Namun, perlu kehati-hatian agar interpretasinya tidak melampaui batas hingga mengarah pada kebebasan yang tidak sesuai dengan maqashid syariah. Dalam hadis Nabi, juga disebutkan:  
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى رُخَصُهُ كَمَا يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى عَزَائِمُهُ
(HR. Ahmad, Ibnu Hibban, dan Baihaqi)  

Teks lain menyebutkan tambahan:  
كَمَا يَكْرَهُ أَنْ تُؤْتَى مَعْصِيَتُهُ

Artinya: "Sesungguhnya Allah menyukai jika keringanan yang diberikan-Nya dilakukan, sebagaimana Dia juga menyukai jika azimah (kewajiban awal sebelum diringankan) dikerjakan."

Namun, persoalan lain yang tidak kalah penting adalah siapa yang memiliki kapabilitas untuk melakukan tajdid. Mengingat rumitnya syarat untuk menjadi seorang mujtahid mutlak, hanya sedikit ulama yang dapat memenuhi standar tersebut. Sebagai gambaran, bahkan Grand Syaikh Al-Azhar seperti Imam Al-Baijuri atau Syaikhul Islam Zakariya Yahya hanya mencapai tingkatan mujtahid dalam kategori tertentu, bukan mujtahid mutlak. Apalagi penulis yang untuk memahami teks Arab saja masih membutuhkan bantuan kamus.

Dari sini, jelas bahwa persoalan tajdid tidak sederhana. Butuh perenungan mendalam untuk menentukan apakah pembaruan konsensus memang diperlukan, ataukah kita cukup bertahan pada konsensus yang sudah ada dengan segala keterbatasannya. 

Wallahu a’lam bishawab.